KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu tanpa ada halangan sedikitpun.
Tujuan kami membuat makalah ini sebagai
tambahan referensi bagi para mahasiswa yang membutuhkan ilmu tambahan tentang
Etika Profesi dan Hukum Kesehatan khususnya Malpraktik Kebidanan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada pembimbing yang telah membimbing kita dalam menyelesaikan makalah ini.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada orang tua yang telah memberikan
dukungan bagi kami. Serta tak lupa teman – teman yang ikut bekerja sama
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penulisan tugas
makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Karena
kesalahan adalah milik semua orang dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Semoga makalah ini dapat berguna dan membantu proses pembelajaran.
Yogyakarta, 14 Mei
2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL................................................................................................... i
KATA
PENGANTAR................................................................................................. ii
DAFTAR
ISI............................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..............................................................................................
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................
1.3. Tujuan Penulisan ..........................................................................................
BAB
II ISI
2.1. Pengertian Malpraktik.......................................................................................
2.2. Jenis – jenis Malpraktik.....................................................................................
2.3. Kajian Kasus Malpraktik...................................................................................
2.4.
Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana.......................................................
2.5.
Penanganan Malpraktek di Indonesia.................................................................
2.6. Upaya Pencegahan Dalam Menghadapi Tuntutan Malpraktek.........................
2.7. Tanggapan
Mahasiswa Tentang Malpraktek.......................................................
2.8. Tanggapan
Pemerintah Tentang Malpraktek.......................................................
BAB
III PENUTUP
3.1. Kesimpulan........................................................................................................
3.2. Saran..................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai calon bidan
yang ahli dan professional dalam melayani klien, sudah menjadi suatu kewajiban
kita untuk mengetahui lebih dahulu apa saja wewenang yang boleh kita lakukan
dan wewenang yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter SpOG sehingga kita harus
meninjau agar tindakan kita tidak menyalahi PERMENKES yang berlaku.
Akhir-akhir ini sering kita menemukan dalam pemberitaan media massa adanya peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Perlu diketahui dengan sangat, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia.
Akhir-akhir ini sering kita menemukan dalam pemberitaan media massa adanya peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Perlu diketahui dengan sangat, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
malpraktik ?
2. Apa saja jenis –
jenis malpraktik ?
3. Bagaimana cara
mencegah dan menghadapi tuntutan malpraktek ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian malpraktek
2. Untuk mengetaahui dan memahami jenis-jenis malpraktek
3. Untuk memahami dan menganalisis contoh kasus malpraktek
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan dalam menghadapi tuntutan malpraktek
Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian malpraktek
2. Untuk mengetaahui dan memahami jenis-jenis malpraktek
3. Untuk memahami dan menganalisis contoh kasus malpraktek
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan dalam menghadapi tuntutan malpraktek
BAB II
ISI
2.1
Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat
umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal”
mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut
dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi.Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan
adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi
kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan
praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma
tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan
dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
2.2
Jenis-Jenis Malpraktek
Untuk malpraktek hukum atau yuridical
malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni
Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut merupakan
perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa
kesengajaan, kecerobohan.
·
Criminal
malpractice yang bersifat sengaja misalnya melakukan euthanasia (pasal 344
KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu
(pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
·
Criminal
malpractice yang bersifat ceroboh misalnya melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan pasien informed consent.
·
Criminal
malpractice yang bersifat lalai misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka,
cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau
korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius
liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan)
selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya
3. Administrativemalpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidann.
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidann.
2.3 Kajian Kasus Malpraktek
Maulana adalah seorang anak berusia 18
tahun. Dulunya adalah anak yang mengemaskan dan pernah menjadi juara bayi
sehat. Namun makin hari tubuhnya makin kurus. Dan organ tubuhnya tidak bisa
berfungsi secara normal. Tragedi ini terjadi ketika Maulana mendapat imunisasi
dari petugas kesehatan. Diduga korban kuat Maulana adalah korban mal praktek.
Maulana kini berusia 18 tahun.
Namun ia hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Tidak ada aktivitas yang
bisa dilakukan. Ia juga tidak bisa berbicara,berat badannya hanya 6,8 seperti
anak berusia lima tahun. Bungsu dari empat bersaudara,anak pasangan Lina dan
Adul ini mengalami kegagalan multi organ.
Tragedi ini bermula saat usianya
empat puluh lima hari. Seperti balita pada umumnya Maulana mendapatkan
imunisasi dari petugas Dinas Kesehatan. Petugas memberikan tiga imunisasi
sekaligus, yaitu imunisasi BCG, imunisasi DPT dan imunisasi Polio.
Namun setelah dua jam menerima
imunisasi, Maulana mengalami kejang-kejang, dan suhu tubuhnya naik tajam.
Sehingga orang tuanya panik dan langsung membawanya ke rumah sakit. Namun
kondisinya justru makin menburuk. Setelah lima hari dirawat, Maulana malah
tidak sadarkan diri tiga minggu. Sejak itu tubuh Maulana selalu sakit sakitan
dan hampir seluruh organ tubuhnya tidak berfungsi normal.
Dokter mendiagnosa Maulana
mengalami radang otak. Namun setelah itu satu persatu penyakit akut
menggerogoti kesehatannya. Semakin hari badannya semakin kecil dan mengerut.
Maulana sering mengalami sesak nafas dan kejang kejang.
Lina yakin Maulana menjadi korban
malpraktek. Karena beberapa dokter yang perawat Maulana menyatakan, anaknya
mengalami kesalahan imunisasi.
Analisis
Kasus
A. Factor penyebab malpraktik
1) Adanya unsure kelalaian
2) Adanya unsure kesalahan bertindak
3) Termasuk adanya pelanggaran kaidah profesi ataupun
hokum
B. Kriteria malpraktik
1) Tenaga kesehatan melakukan kelalaian berat atau
memberikan pelayanan dengan tidak kehatihatian
2) Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan
hokum
C. Jenis malpraktik
1) Civil Malpraktik
a) Tidak melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukan
c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukan
c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
2.4.
Pertanggung Jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang
tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada
pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi
berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak
memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena
adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang
dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi
3 unsur, sebagai berikut :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada
petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal.
2.
Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat
berupa kesengajaan (dolus) atau
kealpaan (culpa).
3. Tidak
adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak
menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu
melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter
terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh
pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan
ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut
sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang
lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut,
dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien
yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan
sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter
operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak
menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial
(infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi
tidak bisa menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau
kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang
tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena
kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan
akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun
demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap
harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan
merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan,
sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak
disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan
yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda
gradasi saja.
2.5. Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum
substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi
tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum
yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan
sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter,
merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum
diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan
hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila
diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah
yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti
yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari
Health Law yang digunakan oleh World
Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum
kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian
dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic
law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan
berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum
pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di
Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di
Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk
modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law
penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang
asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan
medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih
perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan
batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan
sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan
budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan
system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan
malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi
(peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau
kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak
kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian
tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang
dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai
penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi.
Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode
pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah
dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun
1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan
lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi
dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
(MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam
struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan
menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran
hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang
menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian
ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang
dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.
56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas
menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan
tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non
structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan
yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli
Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang
dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK
hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga
cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi.
Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi
kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
2.6.
Upaya Pencegahan Dalam Menghadapi
Tuntutan Malpraktek
Dengan
adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya
malpraktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak
hati-hati, yakni:
a. Tidak
menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya bukan perjanjian akan berhasil.
b. Sebelum melakukan
intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua
tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi
keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin
komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2.7. Tanggapan Mahasiswa Tentang Malpraktek
Malpraktik itu bukan urusan Departemen Kesehatan. Tapi jadi tanggung
jawab Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Kalau menurut kami,
jika ada kasus malpraktik harus segera ditindak, harus dilaporkan kepada yang
berwenang. Sebenarnya kami sangat prihatin terhadap kasus malpraktik yang
terjadi. Masalah ini harus segera diurus sebaik-baiknya sesuai dengan aturan
yang ada pada Majelis Kehormatan.
Malpraktik terjadi karena tidak ada Undang-Undang Perumah sakitan. Sejak
kita merdeka, undang-undang itu tidak pernah ada. Maka sekarang kita mencoba
mengusulkan ke DPR untuk mengesahkan Undang-Undang Perumahsakitan. Dengan
adanya Undang-Undang Perumahsakitan, kita harap akan mengurangi tindakan
malpraktik.
Lembaga ini independen berdasarkan UU No
29/2004 tentang Praktek Kedokteran. Mereka bertugas menerima, memeriksa,
membuat keputusan dan memberikan sanksi atas pengaduan kasus dugaan malpraktik.
2.8. Tanggapan Pemerintah Tentang Malpraktek
“Kutipan
terjemahan tulisan dr Dick Heller, mewakili pemerintah”
Para orang tua sering tidak akurat dalam mengidentifikasikan penyebab dari penyakit mereka. Anekdot atau cerita mengada ada dari seseorang tidak akan dapat berbuat banyak selain hanya menghasilkan sebuah hipotesis yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut secara klinis. Keprihatinan publik terjadi akibat ketidak mampuan untuk mengerti dan meng-ekspresikan bukti-bukti klinis. Yang kita dapati saat ini adalah hipotesis yang berdasarkan anekdot tanpa bukti klinis. Adapun bukti bukti lemah yang ada tidak dapat menunjang hipotesis.
Para orang tua sering tidak akurat dalam mengidentifikasikan penyebab dari penyakit mereka. Anekdot atau cerita mengada ada dari seseorang tidak akan dapat berbuat banyak selain hanya menghasilkan sebuah hipotesis yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut secara klinis. Keprihatinan publik terjadi akibat ketidak mampuan untuk mengerti dan meng-ekspresikan bukti-bukti klinis. Yang kita dapati saat ini adalah hipotesis yang berdasarkan anekdot tanpa bukti klinis. Adapun bukti bukti lemah yang ada tidak dapat menunjang hipotesis.
Membandingkan resiko autisme dan resiko pemberian vaksinasi pada anak
sangat sulit untuk mengerti, mengukur dan
mengekspresikan resiko. Angka angka menunjukkan bahwa tiap 100 000 anak
terdapat 91 penyandang gangguan spektrum autisme. Jika 15% dari anak-anak ini
menjadi penyandang autisme sebagai akibat di-vaksinasi MMR maka sebanyak 7326
anak harus divaksinasi untuk dapat satu anak penyandang autisme. Berapa banyak
kasus penyakit mumps ,measles dan rubella akan timbul jika anak tidak
di-vaksinasi MMR? Bagaimana rate komplikasi ? Sayang sekali, kami tidak
mempunyai sistim intelejen yang canggih untuk menyelidiki efek dari perubahan
pemberian imunisasi terhadap kesehatan masyarakat. Namun kami tahu ssbahwa
untuk measles saja angka kematian 1 - 2 dari tiap 1000 orang yang terinfeksi di
Amerika Serikat dan 1 dari 1000 akan terkena encephalitis beberapa diantaranya
akan terkena kerusakan otak permanen. Jika semua anak yang tidak divaksinasi
terjangkit measles maka rate komplikasi menyebutkan bahwa penyetopan vaksinasi
akan sangat berbahaya - jauh lebih berbahaya dari pada usaha pencegahan insiden
timbulnya gangguan autisme.
Dalam memerangi penyakit menular umum seperti yang disarankan oleh pemerintah untuk mendapatkan vaksinasi akan sulit untuk dapat diatasi jika tingkat pemberian imunisasi di suatu komunitas turun dibawah level kritis. Mereka yang bertanggung jawab terhadap kesehatan publik akan mempunyai kepentingan yang sah untuk meningkatkan pemberian vaksinasi.
menyebabkan autisme. Saya percaya bahwa dengan menyetop vaksinasi pada anak atas dasar hipotesa yang tidak lengkap akan sangat berbahaya
Dalam memerangi penyakit menular umum seperti yang disarankan oleh pemerintah untuk mendapatkan vaksinasi akan sulit untuk dapat diatasi jika tingkat pemberian imunisasi di suatu komunitas turun dibawah level kritis. Mereka yang bertanggung jawab terhadap kesehatan publik akan mempunyai kepentingan yang sah untuk meningkatkan pemberian vaksinasi.
menyebabkan autisme. Saya percaya bahwa dengan menyetop vaksinasi pada anak atas dasar hipotesa yang tidak lengkap akan sangat berbahaya
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari data
kajian yang telah kita peroleh dapat disimpulkan bahwa seorang bidan harus
berhati-hati dalam memberikan pelayanan pada pasiennya. Sehingga pelayanan atau
tindakah yang kita berikan tidak merugikan pasien dan berdampak pada kesehatan
pasien.
Oleh karena itu bidan harus selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan pasien sehingga kita mampu memberikan pelayanan yang komprehesif dan berkualitas. Bidan harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup mendalam agar setiap tindakannya sesuai dengan standar profesi dan kewenangannya.
Oleh karena itu bidan harus selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan pasien sehingga kita mampu memberikan pelayanan yang komprehesif dan berkualitas. Bidan harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup mendalam agar setiap tindakannya sesuai dengan standar profesi dan kewenangannya.
3.2 Saran
Pasien harus dipandang sebagai subjek yang
memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan bukan sekadar objek. Hak – hak
pasien harus di penuhi mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu
layanan sedangkan ketidak puasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar